Selasa, 09 April 2013

Deka's Book


TEORI BELAJAR HUMANISTIK MENURUT
DAVID A. KOLB

1.Latar Belakang
Munculnya teori humanistik merupakan tesa dan anti tesa terhadapa teori-teori belajar sebelumnya, seperti teori psikoanalisis dan behaviorisme. Teori humanistik mengungkapkan bahwa tiap orang itu menentukan perilaku mereka sendiri. Mereka bebas memilih dalam memilih kualitas hidup mereka. tidak terikat oleh lingkungannya. (Westy Sumanto, 2006: 137).
Teori psikologi Humanistik memberikan keluasan yang sangat besar kepada pendidik dan Anak didik dalam melakukan dialektika pembelajaran, sehingga terjalin komunikasi dua arah yang saling memahami karakter dan konsern dari setiap proses pembelajaran sehingga meransang siswa untuk “merdeka”.
Anak dapat mengkostruksi pengetahuan dan memberi makna melalui pengelaman nyata dan dirinya sendiri yang pada akhirnya anak mampu mengaktualisasikan dirinya sesuai jelmaan yang diinginkannya.
Adanya kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciftakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Banyak tokoh penganut aliran Humanistik, diantaranya adalah David Kolb yang terkenal dengan “ Belajar  Empat Tahap”

2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah: Bagaimana teori Humanistik menurut sudut pandang David A. Kolb?

3. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini, yaitu untuk mengetahui teori Humanistik menurut sudut pandang David A. Kolb.
PEMBAHASAN

1.    Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati pada teori kepribadian dan psikoterapi. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari daripada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana adanya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu untuk mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar secara optimal.
Teori belajar humanistik menggunakan pendekatan motivasi yang menekankan pada kebebasan personal, penentuan pilihan, determinasi diri, dan pertumbuhan individu. Teori belajar humanistik berpandangan bahwa peristiwa belajar yang ada saat ini lebih banyak ditekankan pada aspek kognitif semata, sementara aspek afektif dan psikomotor menjadi terabaikan. Padahal setiap anak merupakan individu yang unik, memiliki perasaan dan gagasan orisinil. Tugas pendidik adalah membantu individu agar berkembang secara sehat dan sesuai dengan potensi yang dimilikinya. (Benny A. Pribadi, 2009: 79-80).
Secara singkatnya, pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya. Para pendidik hanya membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Banyak tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya adalah David A. Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”.

2.    Biografi David A.Kolb
David A. Kolb lahir pada tahun 1939. dan ia dibesarkan di kota New York.
Ia memperoleh gelar sarjana pada tahun 1961 dari Knox College. Dia kemudian melanjutkan untuk mendapatkan gelar Ph.D. dalam psikologi sosial dari Universitas Harvard. Hari ini, dia adalah Profesor Perilaku Organisasi dalam Weatherhead School of Management di Case Western Reserve University.
Kolb telah menulis beberapa artikel dan buku yang telah diterbitkan. diantaranyan:
1.    The Critique of Pure Modernity: HegelHeidegger, and After, 1987
2.    Postmodern Sophistications: Philosophy, Architecture, and Tradition, 1990
3.    New Perspectives on Hegel's Philosophy of Religion, 1992
4.    Socrates in the Labyrinth: Hypertext, Argument, Philosophy, 1994
5.    Sprawling Places, 2008
6.    "On the Objective and Subjective Grounding of Knowledge", translation, with introduction and notes, of an essay by the Neo-Kantian Paul Natorp, in the Journal of the British Society for Phenomenology, 1981.
7.    "Language and Metalanguage in Aquinas", in the Journal of Religion, 1981, "Socrates and Stories", in Spring, 1981.
8.    "Sellars on the Measure of All Things", in Philosophical Studies, 1979.
9.    "Ontological Priorities: A Critique of the Announced Goals of Descriptive Metaphysics", in Metaphilosophy, 1975.
10.     "Time and the Timeless in Greek Thought", in Philosophy East-West, 1974.

3.    Teori Belajar Menurut David A. Kolb
David Kolb adalah seorang filosof yang beraliran HUMANISTIK. Dimana aliran ini lebih melihat pada sisi perkembangan manusia. Pendekatan ini melihat kejadian, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan yang bersifat positif ini yang disebut sebagai potensi manusia. Dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya memfokuskan pengajaran pada pembangunan kemampuan positif ini. Kemampuan positif ini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat pada domain afektif.
David A. Kolb adalah seorang psikolog Amerika dan teori pendidikan. Ia paling dikenal karena penelitian gaya belajar dan belajar pengalaman. Menurut Kolb, experiential learning adalah suatu proses dimana pengetahuan hasil dari kombinasi yang berbeda dari menangkap dan mentransformasikan pengalaman. Kita dapat memahami pengalaman dengan dua cara yang berbeda, melalui pengalaman konkret dan konsep abstrak. Kita kemudian dapat mengubah pengalaman dalam dua cara, melalui pengamatan reflektif atau percobaan aktif. 
Gaya belajar model David A. Kolb terimplisit dalam resource based learning (belajar berdasarkan sumber) yang mengajak siswa melakukan observasi untuk memecahkan masalah. Menurut David Kold (dalam Nasution 2005:111), “Gaya belajar model Kolb ialah gaya belajar yang melibatkan pengalaman baru siswa, mengembangkan observasi/merefleksi, menciptakan konsep, dan menggunakan teori untuk memecahkan masalah”.

Tipe Belajar Kolb
Bagan. Gaya Belajar David A.Kolb

David Kolb mengemukakan adanya empat kutub yang terlihat diatas, (a-b) kecenderungan seseorang dalam proses belajar, kutub-kutub tersebut yang dikutip dari (http//www.pdf reaserch.com). Antara lain:
a.    Kutub Perasaan/FEELING (Concrete Experience)
Anak belajar melalui perasaan, dengan menekankan segi-segi pengalaman kongkret, lebih mementingkan relasi dengan sesama dan sensitivitas terhadap perasaan orang lain. Dalam proses belajar, anak cenderung lebih terbuka dan mampu beradaptasi terhadap perubahan yang dihadapinya.
b.    Kutub Pemikiran/THINKING (Abstract Conceptualization)
Anak belajar melalui pemikiran dan lebih terfokus pada analisis logis dari ide-ide, perencanaan sistematis, dan pemahaman intelektual dari situasi atau perkara yang dihadapi. Dalam proses belajar, anak akan mengandalkan perencanaan sistematis serta mengembangkan teori dan ide untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
c.    Kutub Pengamatan/WATCHING (Reflective Observation)
Anak belajar melalui pengamatan, penekanannya mengamati sebelum menilai, menyimak suatu perkara dari berbagai perspektif, dan selalu menyimak makna dari hal-hal yang diamati. Dalam proses belajar, anak akan menggunakan pikiran dan perasaannya untuk membentuk opini/pendapat.
d.   Kutub Tindakan/DOING (Active Experimentation)
Anak belajar melalui tindakan, cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan tugas,berani mengambil resiko, dan mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya. Dalam proses belajar, anak akan menghargai keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan, pengaruhnya pada orang lain, dan prestasinya.

Menurut Kolb, tidak ada individu yang gaya belajarnya secara mutlak didominasi oleh salah satu saja dari kutub tadi. Yang biasanya terjadi adalah kombinasi dari dua kutub dan membentuk satu kecenderungan atau orientasi belajar. Empat kutub di atas membentuk empat kombinasi gaya belajar. Pada model di atas, empat kombinasi gaya belajar diwakili oleh angka I hingga IV, dengan penjelasan seperti di bawah ini:
1.    Gaya Diverger
Kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching). Anak dengan tipe Diverger unggul dalam melihat situasi kongkret dari banyak sudut pandang yang berbeda. Pendekatannya pada setiap situasi adalah "mengamati" dan bukan "bertindak". Anak seperti ini menyukai tugas belajar yang menuntutnya untuk menghasilkan ide-ide (brainstorming), biasanya juga menyukai isu budaya serta suka sekali mengumpulkan berbagai informasi.
2.    Gaya Assimillator
Kombinasi dari berpikir dan mengamati (thinking and watching). Anak dengan tipe Assimilator memiliki kelebihan dalam memahami berbagai sajian informasi serta merangkumkannya dalam suatu format yang logis, singkat, dan jelas. Biasanya anak tipe ini kurang perhatian pada orang lain dan lebih menyukai ide serta konsep yang abstrak, mereka juga cenderung lebih teoritis.
3.    Gaya Converger
Kombinasi dari berfikir dan berbuat (thinking and doing). Anak dengan tipe Converger unggul dalam menemukan fungsi praktis dari berbagai ide dan teori. Biasanya mereka punya kemampuan yang baik dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Mereka juga cenderung lebih menyukai tugas-tugas teknis (aplikatif) daripada masalah sosial atau hubungan antar pribadi.
4.    Gaya Accomodator
Kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling and doing). Anak dengan tipe Accommodator memiliki kemampuan belajar yang baik dari hasil pengalaman nyata yang dilakukannya sendiri. Mereka suka membuat rencana dan melibatkan dirinya dalam berbagai pengalaman baru dan menantang. Mereka cenderung untuk bertindak berdasarkan intuisi/dorongan hati daripada berdasarkan analisa logis. Dalam usaha memecahkan masalah, mereka biasanya mempertimbangkan faktor manusia (untuk mendapatkan masukan/informasi) dibanding analisa teknis.

Menyimak berbagai gaya belajar di atas, sebagai guru perlu kiranya kita tetap sensitif terhadap strategi belajar kita sendiri, yang mungkin sama atau sama sekali berbeda dengan orientasi belajar peserta didik di kelas. Perbedaan itu dapat menimbulkan kesulitan dalam kegiatan belajar-mengajar (dalam interaksi, komunikasi, kerjasama, dan penilaian). Jika mengajar kita pahami sebagai kesempatan membantu peserta didik untuk belajar, maka kita harus berusaha membantu mereka memahami "Style of Learning"nya, dengan tujuan meningkatkan segi-segi yang kuat dan memperbaiki sisi-sisi yang lemah dari padanya.
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Ini lah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Pada tahap kedua, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau ”teori” tentang suatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membut aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami ”asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum ia temui sebelumnya. (Hamzah B. Uno, 2008:15).
Menurut David A. Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung diluar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu seringkali begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya. (Hamzah B. Uno, 2008:15). Dari teori yang diungkapkan oleh Kolb menunjukkn bahwa anak dapat melakukan proses pemahaman terhadap teks dan konteks yang ada dihadapannya dapat diserap dengan baik, bila teks dan konteks yang disodorkan semakin konkrit. Anak-anak masih sulit memahami teks maupun konteks secara abstrak, walaupun secara bertahap mereka mulai dapat memahmi hal-hal yang abstrak dan membuat konsep-konsep sederhana.

Karakteristik Gaya Belajar
Styles of Learning Kolb ini akan menjadi lebih sempurna bila dikaitkan dengan karakteristik gaya dan cara belajar siswa yang dikenal dengan tipe, Visual, auditory, dan kinestetik.
Manusia visual menerima dan memproses informasi dengan cara melihat dan menciftakan gambaran mentalnya. Secara khas, orang visual akan menggunakan kata-kata seperti ‘tunjukkan kepada saya’,’kelihatannya’, atau ‘perhatikan ini’. jika merasa bingung, mungkin ia berkata ‘saya hanya tak bisa melihatnya’. (Amir Tengku Ramly, 2008: 41).
Manusia auditory menerima dan memproses informasi dengan mendengarkan kata-kata atau suara-suara. Orang auditory cenderung menggunakan kata-kata seperti ‘ceritakan pada saya’, ‘kedengarannya seperti…’, ‘saya ingin mendengarkan lagi’’. Jika sedang bingung, biasanya cepat berkata ‘kedengarannya tidak betul’, dan ‘saya tidak bisa mendengar anda’. (Amir Tengku Ramly, 2008: 41).
Manusia kinestetik menerima dan memproses informasi melalui perasaan dan sensasi. Biasanya cepat berkata ‘rasanya seperti…’, ‘bagi saya rasanya enak’, ‘saya merasa anda ingin supaya saya…’. Jika bingung, mungkin akan berkata ‘ada yang terasa tidak benar’, ‘saya tidak bisa merasakannya’. (Amir Tengku Ramly, 2008: 41).
Bila guru merasa kesulitan dalam mengajar, mengapa siswanya tidak mau memperhatikan materi yang disampaikan, boleh jadi karena gaya dan cara belajar antara guru dan siswa berbeda. Saat menggunakan teknik bercerita dan diskusi, anak yang memiliki cara dan gaya belajar auditory, maka ia dengan mudah menangkap materi yang diajarkan, sementara anak yang cara dan gaya belajarnya visual tampak acuh dan anak yang cara dan gaya belajarnya kinestetik menguap karena bosan. Saat menggunakan alat peraga gambar, ganti anak auditory yang kurang semangat sementara anak visual dengan antusias mengikuti, sedang anak kinestetik tampak biasa-biasa saja. Namun, saat guru mengajak mereka mengerjakan prakarya, anak kinestetik begitu bersemangat, sementara auditory dan visual ogah-ogahan mengikuti materi yang disampaikan oleh gurunya.












PENUTUP

Kesimpulan
Teori Humanistik telah memberikan cara belajar yang lebih bermakna, sehingga dalam proses belajar dan mengajar ada peran dan peranan yang harus dijalani dengan baik sesuai dengan asas humanisasi.
Gaya pembelajaran Kolb merupakan salah satu model gaya pembelajaran melalui pengalaman yang menekankan pemerolehan pengetahuan melalui pengalaman sendiri. Kolb sebagai salah satu yang termasuk dalam teori psikologi humanistik memberikan sumbangan dalam proses pembelajaran, yang ia tulis dalam keempat proses pembelajaran Kolb (Styles of Learning Inventory). Yang terbagi dalam empat kutub. Pengalaman kongkrit, Pengamatan aktif dan reflektif,  konseptualisasi, serta eksperimentasi aktif. Yang keempatnya itu dapat muncul tanpa disadari. Dari keempat kutub ini memunculkan kembali pertemuan antar kutub, yang ia kembangkan dengan istilah Gaya Diverger kombinasi dari perasaan dan pengamatan (feeling and watching), Gaya Assimillator kombinasi dari berpikir dan mengamati (thinking and watching), Gaya Converger kombinasi dari berfikir dan berbuat (thinking and doing) dan Gaya Accomodator kombinasi dari perasaan dan tindakan (feeling and doing).













DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2007. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, Nashir. 1987. Jalan Memintas dalam Mendidik. Jakarta: Balai Pustaka.
Asri Budiningsih, 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta .PT Rineka Cipta.
Nasution, S., 2009. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Pribadi, Benny A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Karya.

Ramly, Amir Tengku. 2008. Pumping Talent Memahami Diri, Memompa Bakat. Bandung: Pumping Publisher.

Ramly, Amir Tengku. 2008. Menjadi Guru Idola. Bogor: Pumping Publisher.

Sadulloh, Uyo. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Slavin, R.E., 1991. Educational Psychology. Third edition. New York : Allyn & Bacon.

Suhartono, Suparlan. 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Soemanto, Westy. 2006., Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Uno, Hamzah B. 2008. Orientasi Baru dalam Psikologi Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

http//www. pdf reaserch.com.